Tahun
baru 2013 M tiba, sejatinya ia bukanlah anugerah tetapi ia patut
disebut ‘bencana’. Datangnya pergantian tahun membuat fisik semua
makhluk di muka bumi kian bertambah tua, atau bertambah renta, bukan
kebalikannya. Identiknya pejabatpun akan segera pensiun, kecantikan pun
kian pudar, kekuatan fisik berkurang, bangunan pun kian rapuh atau akan
roboh.
Ia pun bukan ‘barang’ baru, tetapi ‘barang’ lama dan tua, dulu ia baru berusia 2012, kini tahun itu telah memasuki usianya yang ke- 2013.
Alhasil, setiap datangnya tahun baru, berarti semakin berkurangnya usia masing-masing setiap manusia. Seperti ketika sebagian orang ‘salah kaprah’ setiap tanggal kelahirannya sorak-sorai merayakan ulang tahunnya, yang sejatinya ‘merayakan’ semakin berkurangnya usianya, bertambah tua berarti semakin kuranglah usianya, perlahan ajal mendekat. Bahkan dengan pergantian tahun berarti akhir zaman(Kiamat) Kian mendekat. Meskipun di sisi lain, Alhamdulillah manusia patut bersyukur masih diberi usia panjang sampai dipertemukan dengan tahun baru ini, tentunya bersyukur sebatas dengan tindakan yang positif.
Identiknya ‘kita’ orang-orang tua mengajak generasi bangsa untuk membudayakan hal-hal positif dan bermanfaat, tapi kini justeru banyak yang berlomba-lomba ‘mensosialisasikan’ hal-hal yang kurang positif. Padahal orang tua mengajak ke ranah positif saja, belum tentu ‘anak-anak kita’ akan mengikutinya.
Entah sejak kapan, dan siapa yang membidani, bangsa Indonesia yang katanya negeri berpenduduk mayoritas Muslim ini ‘terseret arus’, setiap momentum tahun baru, banyak, bahkan mayoritas merayakan ‘bencana’ itu dengan pesta-pora, hura-hura.
Tak peduli kadang mendadak hutang materi sana –sini. Pergantian tahun dianggapnya ‘anugerah’ momentum spesial untuk pesta bersama keluarga dan atau orang-orang dekatnya, serentak meniup terompet. Banyak yang beranggapan bahwa traveling ke suatu tempat tertentu bersama keluarga adalah ‘kewajiban’, demi untuk pesta tahun baru. Sungguh aneh.
Cermin Kepincangan Budaya
Tengoklah negara-negara Teluk, seperti Qatar, Saudi Arabia, Bahrain, Oman, Kuwait—Kecuali Arab Emirates yang baru-baru ini mulai ikut-ikutan merayakan pergantian tahun--, di Negara-negara petro dolar tersebut, meskipun disana ‘miskin’ adat-tradisi atau budaya, tidak seperti Indonesia yang berlimpah ruah adat-tradisi dan Budaya dari masing-masing daerah. Disana dengan berlimpahnya kemewahan materi, tidak serta-merta terseret arus hura-hura dalam menyikapi pergantian tahun. Eksis dengan adat tradisi negara masing-masing. Bahkan kata anak saya yang lama studi di Maroko, di negara Muslim yang bertetangga dekat dengan Eropa itu, meskipun muda-mudi kesehariannya banyak yang gaya hidupnya terpengaruh dengan gaya Eropa, tapi soal urusan pergantian tahun, di sana sunyi senyap.
Jika mereka yang berpesta pora di malam pergantian tahun itu ditanya, apa landasan atau substansi sehingga bersorak-sorai dengan datangnya pergantian tahun?
Dapat dipastikan jawaban mereka kurang ilmiah. Akibat dominan ‘terseret arus’ tradisi atau perselingkuhan ‘life style’ budaya (sebagian Negara)Asing, atau hanya sebatas faktor gengsi, takut dikatakan ‘ndeso’ bila tidak terlibat dalam aktivitas yang kurang Ilmiah itu. Sehingga tak jarang remaja dari desa yang mewajibkan dirinya terlibat ‘tragedi’ semacam itu. Lebih parah lagi momentum pergantian tahun, kerap dijadikan ajang kencan pasangan muda-mudi, sering sampai melewati batas kewajaran; mabuk-mabukan dan berujung free sex. Innalillahi Wainna Ilaihi rojiun.
Selain nominasi LANSIA alias kakek-nenek di berbagai penjuru daerah aktif yang ‘memfasilitasi’ para anak-cucunya untuk hura-hura di setiap momentum pergantian tahun. Para pejabat, baik pusat maupun daerah yang semestinya menjadi figure teladan itu, di Even ini tidak mau ketinggalan melakukan ‘perselingkuhan’, gegap gempita memanfaatkan momentum tahun baru, hanya untuk kepentingan pragmatisme politiknya meraup simpati publik. Tanpa melihat efek-sampingnya, mereka ‘mensponsori’ publik untuk gegap gempita di setiap pergantian tahun.
Ditopang pula oleh kepentingan komersialis berbagai produk tertentu, dengan mengontrak para bintang terkenal untuk mengkampanyekan momentum pergantian tahun sebagai even sangat istimewa.
Introspeksi Budaya
Jakarta bukan Tokyo penyembah Matahari yang merayakan pergantian tahun baru selama 4 hari, buka pula London atau Sydney atau Barcelona, apalagi Paris yang masyarakatnya kian Sekuler, di mana mayoritas penghuni bangsa-bangsa tersebut kian Hedonis, jauh dari norma-norma Islam, dan di kota-kota tersebut disulap menjadi ‘surga’ di setiap malam pergantian tahun. Sehingga masuk 5 negara termewah perayaan pergantian tahun.
Perlu diingat, Indonesia sebagai Negara multi etnis, multi adat-tradisi, dan tentu multi Budaya. Tidak sepatutnya ‘menggerus’ budaya atau tradisi bangsa sendiri yang semestinya harus kita banggakan dan kita lestarikan.
Lihatlah wajah perselingkuhan bangsa kita, baru-baru ini seorang mantan nara pidana karena skandal Video Porno yang beredar di tengah-tengah Publik, dengan gunta-ganti perempuan artis yang juga salah satunya masih istri syah orang lain. Namun setelah sang penjahat itu keluar dari penjara, justeru kian dikagumi, digemari oleh publik Muslim, utamanya kalangan Remaja. Hanya karena NAPI itu dulunya Vokalis Band.
Dalam konteks ini, bangsa kitapun akan marah, bahkan mengutuk dan berdemonstrasi di mana-mana menuduh bangsa lain ‘merebut budaya’, bila ada salah satu dari bagian budaya bangsanya, coba ‘dilestarikan’ oleh bangsa lain. Ini benar-benar aneh, padahal generasi bangsa kita tidak mau bahkan gengsi untuk merawat budaya bangsa sendiri, dan lebih tertarik ‘mengadopsi’ dan membanggakan budaya bangsa lain, pada gilirannya secara estafet menggusur autentitas elemen-elemen budaya bangsa sendiri, padahal budaya asing(pesta tahun baru atau sejenisnya) Jelas tidak ada substansi Ilmiah, apalagi bila dipandang dari aspek agama, Sangat jauh. Waspadalah.
* Pengasuh Pondok Pesantren Asy-Syafi’iyyah, Kedungwung, Krangkeng, Indramayu, Jawa Barat. Santri Pesantren Tambakberas Jombang di Era KH Wahab Hasbullah.
No comments:
Post a Comment